Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami penggunaan dana otonomi khusus (otsus) Papua dan kaitannya dalam kasus korupsi yang menjerat Gubernur nonaktif Lukas Enembe. Lukas telah berstatus tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji terkait proyek pembangunan infrastruktur di "Bumi Cenderawasih".
"Kami pastikan juga terus kembangkan informasi dan data lainnya [termasuk dana otsus Papua]," kata Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri, saat dikonfirmasi, Selasa (17/1).
Sementara itu, anggota Komisi III DPR, Habiburokhman, mendukung rencana KPK mengusut dugaan aliran dana Lukas Enembe kepada organisasi Papua merdeka (OPM). Jika terbukti, politikus Partai Demokrat itu bisa dijerat Undang-Undang (UU) Antiterorisme.
"Kalau memang ada bukti aliran dana hasil tipikor (tindak pidana korupsi) ke OPM, maka yang bersangkutan tidak hanya dijerat UU Tipikor, tapi juga UU Antiterorisme," ucap Habiburokhman, Senin (16/1).
Kendati begitu, politikus Partai Gerindra ini meminta KPK terlebih dahulu fokus pada proses penyidikan guna mendapatkan bukti-bukti lengkap. Publik pun diimbau tak terlalu berasumsi agar tidak terjadi upaya penghilangan barang bukti.
"Baiknya KPK maksimalkan dahulu penyidikannya, cari dulu bukti-buktinya yang lengkap, baru kemudian diumumkan lewat media. Publik juga jangan terlalu banyak berasumsi, takutnya ada penghilangan alat-alat bukti," tuturnya.
Terpisah, aktivis kemanusiaan asal Papua, Natalius Pigai, menilai, Lukas Enembe tidak bisa dijerat UU Antiterorisme ataupun UU Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Alasannya, hukum Indonesia dan internasional belum mengakui OPM sebagai kelompok teroris.
"OPM secara resmi dalam hukum Indonesia dan international belum jadi kelompok teroris. Sehingga, tidak bisa dikenakan UU Terorisme," ujarnya kepada Alinea.id, Senin (16/1).
Menurut Natalius, OPM diasosiasikan dengan kelompok teroris karena pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD. "[Namun] sudah ditolak Kadensus 88."